Bagian 3- Perjuangan Meraih Hidayah
Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. Al An’aam [6]: 82)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud,
لَمَّا نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} بِشِرْكٍ أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman.” Kami (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?”
Maka Rasulullah pun menjawab, “Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna, “Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar“.”
Menurut para sahabat ayat ini berlaku umum mencakup semua bentuk kezaliman. Sehingga mereka menyangka kezaliman terhadap diri sendiri pun tercakup dalam syarat untuk mendapatkan keamanan dan hidayah yang disebutkan oleh ayat ini. Artinya orang yang menzalimi dirinya (dengan berbuat maksiat, pent) tidak akan termasuk orang yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Sehingga hal ini tentu memberatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab musykilah yang muncul dalam pikiran para sahabat dengan menjelaskan bahwa kezaliman yang benar-benar melenyapkan anugerah keimanan dan petunjuk adalah kezaliman yang berupa kesyirikan. Sebab dengan berbuat syirik seorang hamba telah berani menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai suatu kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini (syirik, pen). Karena sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman ini maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan petunjuk…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barang siapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba, dan menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’, pent). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi dikarenakan perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri.”
Beliau melanjutkan keterangannya, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik” itu bukan berarti orang yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash al-Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga.”
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah syirik. Sehingga makna ayat tersebut adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah bahwa makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” adalah “mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun.” Dan semakin kecil kezaliman yang melekat pada diri seorang hamba maka semakin tinggi pula kadar keamanan dan petunjuk yang diraihnya. Semakin bersih tauhidnya, maka semakin besar pahala yang akan didapatkannya.
Di antara sebab-sebab seseorang mendapatkan hidayah adalah:
1. Bertauhid
Seseorang yang menginginkan hidayah Allah, maka ia harus terhindar dari kesyirikan, karena Allah tidaklah memberi hidayah kepada orang yang berbuat syirik. Allah berfirman yang artinya “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-an’am:82).
2. Taubat kepada Allah
Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang yang tidak bertaubat dari kemaksiatan, bagaimana mungkin Allah memberi hidayah kepada seseorang sedangkan ia tidak bertaubat? Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkansiapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya".
3. Belajar Agama
Tanpa ilmu (agama), seseorang tidak mungkin akan mendapatkan hidayah Allah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya “Jika Allah menginginkan kebaikan (petunjuk) kepada seorang hamba, maka Allah akan memahamkannya agama” (HR Bukhori)
4. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi hal yang dilarang.
Kemaksiatan adalah sebab seseorang dijauhkan dari hidayah. Allah berfirman yang artinya “Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-nisa: 66-68).
5. Membaca Al-qur’an, memahaminya mentadaburinya dan mengamalkannya.
Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al-Isra:9)
6. Berpegang teguh kepada agama Allah
Allah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali-Imron:101).
7. Mengerjakan sholat.
Di antara penyebab yang paling besar seseorang mendapatkan hidayah Allah adalah orang yang senantiasa menjaga sholatnya, Allah berfirman pada surat al-baqoroh yang artinya “Aliif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya dan merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
Siapa mereka itu, dilanjutkan pada ayat setelahnya “yaitu mereka yang beriman kepada hal yang ghoib, mendirikan sholat dan menafkahkah sebagian rizki yang diberikan kepadanya” (QS. Al-baqoroh:3).
8. Berkumpul dengan orang-orang sholeh
Allah berfirman yang artinya “Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami." Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am:72).
Ibnu katsir menafsiri ayat ini, “Ayat ini adalah permisalan yang Allah berikan kepada teman yang sholeh yang menyeru kepada hidayah Allah dan teman yang jelek yang menyeru kepada kesesatan, barangsiapa yang mengikuti hidayah, maka ia bersama teman-teman yang sholeh, dan barang siapa yang mengikuti kesesatan, maka ia bersama teman-teman yang jelek. “
Dengan mengetahui hal tersebut, marilah kita berupaya untuk mengerjakannya dan mengajak orang lain untuk melakukan sebab-sebab ini, semoga dengan jerih payah dan usaha kita dalam menjalankannya dan mendakwahkannya menjadi sebab kita mendapatkan hidayah Allah. Syaikh Abdullah Al-bukhori mengatakan dalam khutbah jum’atnya “Semakin seorang meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah, niscaya bertambah hidayah padanya. Seorang hamba akan senantiasa ditambah hidayahnya selama dia senantiasa menambah ketaqwaannya. Semakin dia bertaqwa, maka semakin bertambahlah hidayahnya, sebaliknya semakin ia mendapat hidayah/petunjuk, dia semakin menambah ketaqwaannya. Sehingga dia senantiasa ditambah hidayahnya selama ia menambah ketaqwaannya.”
Iman dan tauhid harus dipertahankan. Pengakuan iman tidak ada artinya jika tidak disertai keistiqamahan. Diriwayatkan dari Abu ‘Amr, tetapi ada juga yang menyebutnya Abu ‘Amrah yaitu Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku berkata: Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan selain kepada dirimu.” Maka beliau pun bersabda, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa makna istiqamah adalah, “senantiasa menempuh jalan yang benar yaitu dengan cara melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” (Syarh Al Arba’in)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa ungkapan, ‘Aku beriman kepada Allah’ lebih ditekankan pada masalah hati/keyakinan. Sedangkan ‘lalu istiqamahlah’ lebih ditekankan pada masalah amal perbuatan. Sehingga hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa bangunan agama ini ditopang oleh dua hal yang sangat penting yaitu keimanan yang terletak di dalam hati dan keistiqamahan yang terletak pada anggota badan (Ta’liq Al Arba’in)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bukanlah maksud ucapan Nabi “Katakanlah, Aku beriman” adalah sekedar mengucapkan dengan lisan. Karena ada di antara manusia yang mengatakan,“Aku beriman kepada Allah dan hari akhir” padahal hakekatnya mereka bukan orang beriman. Namun yang dimaksud ialah supaya mengucapkan dengan hati dan lisan secara beriringan. Sehingga artinya adalah agar ia mengucapkannya dengan lisan setelah hatinya meyakini, dan hal itu diyakininya dengan sangat mantap tanpa menyisakan keraguan…”
Beliau juga mengatakan, “Dalam sabda beliau, “Aku beriman kepada Allah” tercakup keimanan kepada wujud Allah‘azza wa jalla, rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan berita-berita dari-Nya, serta perkara apapun yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Hendaknya engkau imani hal itu. Dan kemudian apabila engkau sudah beriman dengannya maka istiqamahlah di atas agama Allah. Jangan kamu menyimpang darinya, ke kanan maupun ke kiri. Jangan kamu kurang-kurangi dan jangan pula kamu tambah-tambahi. Istiqamahlah di atas syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah, yaitu dengan cara ikhlas (beribadah) kepada Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti (tuntunan) Rasul-Nya. Istiqamahlah dengan shalat, zakat, puasa dan haji serta dengan semua syari’at. Dan sabda belau,“Katakanlah, Aku beriman kepada Allah” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak bisa dicapai tanpa beriman terlebih dulu. Ini sekaligus menunjukkan bahwasanya salah satu syarat amal shalih; yaitu syarat sah dan diterimanya adalah amal tersebut harus dibangun di atas keimanan.” Selesai ucapan beliau.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhahullah mengatakan, “Dalam syari’at, istiqamah mengandung dua perkara: [1] Berjalan di atas jalan yang benar, [2] Bersikap tegar dan konsisten di atasnya sampai mati. Adapun perkara yang pertama yaitu berjalan di atas jalan yang benar. Makna ini telah dijelaskan oleh firman Allah ta’alayang artinya, “Hai, orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar ketakwaan kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Bertakwalah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh yaitu sepenuh kemampuanmu. Allah ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuanmu” (QS. at-Taghabun: 16)
Sedangkan yang kedua yaitu teguh di atasnya hingga mati telah tercakup dalam firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102). Maka hal ini mengandung perintah untuk bersikap teguh dan konsisten. Artinya istiqomahlah di atas ketakwaan hingga kematian menjemput dan kalian tetap berada di atasnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang sahih,”Barang siapa yang ingin dibebaskan dari neraka serta dimasukkan ke dalam surga, hendaklah dia menjumpai kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia bergaul dengan orang dengan sikap yang dia sukai untuk dirinya.” (Shahih, riwayat Ahmad dalam Musnad [II/191] dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu wa Ta'ala yaitu taufiq Allah Subhanahu wa Ta'ala pada seorang hamba dalam kebenaran pada semua tindakannya. Itulah yang disebut oleh Allah dalam al Qur'an, "Dan orang yang berjuang di jalan Kami, akan Kami berikan kepada mereka hidayah jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al Ankabut: 69).
Para ulama berkata, "Kami beri mereka taufiq, untuk mendapatkan sasaran yang benar menuju jalan yang lurus, jalan itu yang mengantarkan mereka pada ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala."
"Dan Allah tambahkan orang yang diberi hidayah itu dengan hidayah." (QS. Maryam: 76).
Penafsiran ayat ini ada 5 pendapat, yaitu:
1. Allah tambahkan dengan tauhid sebagai iman.
2. Allah tambahkan pemahaman dalam agama.
3. Allah tambahkan keimanan setiap kali turun wahyu.
4. Allah tambahkan iman dengan nasikh wal mansukh.
5. Allah tambahkan orang yang mendapatkan yang mansukh, petunjuk yang nasikh.
Para ulama berkata, "Kami beri mereka taufiq, untuk mendapatkan sasaran yang benar menuju jalan yang lurus, jalan itu yang mengantarkan mereka pada ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala."
"Dan Allah tambahkan orang yang diberi hidayah itu dengan hidayah." (QS. Maryam: 76).
Penafsiran ayat ini ada 5 pendapat, yaitu:
1. Allah tambahkan dengan tauhid sebagai iman.
2. Allah tambahkan pemahaman dalam agama.
3. Allah tambahkan keimanan setiap kali turun wahyu.
4. Allah tambahkan iman dengan nasikh wal mansukh.
5. Allah tambahkan orang yang mendapatkan yang mansukh, petunjuk yang nasikh.
Zajjaj rahimahullah berkata (maknanya), "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menambah keyakinan mereka, sebagaimana orang kafir ditambahkan kesesatan bagi mereka." Orang yang memperolah hidayah kedua merupakan orang pilihan Allah dan dialah wali Allah, sebagai tingkat keimanan muslim yang tertinggi. Buah dari kewalian tersebut adalah kecintaan dan pembelaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba tersebut pada setiap kondisi dan keadaan.
Untuk menggapai hidayah yang kedua seorang muslim harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:
1. BERJIWA HANIF
1. BERJIWA HANIF
Hanif secara bahasa ialah 'condong kepadanya', orang yang hanif yaitu orang yang condong kepada kebenaran, kepribadian yang lurus dan istiqamah.
2. BERSERAH DIRI
Jika seseorang hendak mencari kebahagiaan dan jalan menujunya mudah, maka tentu pintu itu adalah pintu penyerahan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penyerahan diri dalam perintah dan larangan-Nya, Iman dan Islam kepada-Nya, mengikuti kabar dan berita yang disampaikan-Nya. Allah mengabarkan bahwa cara beragama yang baik adalah dengan berserah diri, (dalam firman-Nya): "Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlasmenyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?" (QS. An Nisa: 125).
3. MEMILIKI MOTIVASI
Seseorang yang memperoleh hidayah mempunyai kemauan yang kuat dan motivasi yang tinggi, karena yang dicarinya adalah surga yang luasnya meliputi langit dan bumi. Jika orang yang mencari dunia memerlukan semangat dan motivasi, tentu yang mencari akhirat lebih lagi. Contoh terbaik dalam kemauan yang keras dalam mencari kebenaran adalah Salman al Farisi Radhiyallahu'anhu. Ia meninggalkan kekayaan dan kebesaran orang tuanya di Persia, dan berpindah dari negeri ke negeri dan dari guru ke guru lain, hingga akhirnya terjual menjadibudak di pasar Madinah. Setelah perjalanan yang sangat panjang tersebut baru bertemu dan beriman dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, lalu akhirnya kembali ke Persia
menjadi gubernur di sana.
menjadi gubernur di sana.
4. SABAR DAN YAKIN
Sekiranya akal dapat diumpamakan dengan sebuah benteng yang kokoh, maka yang perlu diwaspadai adalah serangan syahwat dan syubhat.... Penangkal syahwat dengan sabar dan penangkal syubhat dengan yakin. Ketika terjadi pertautan antara sabar dan yakin, lahirlah kepemimpinan dalam agama. Allah berfirman, "Dan Kami jadikan dari kalangan mereka itu pemimpin-pemimpin dengan perintah Kami karena mereka bersabar, dan mereka telahsangat yakin dengan ayat-ayat Kami." (QS. As Sajdah: 24)
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-’Ankabut [29]: 69)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu mengaitkan hidayah dengan jihad (kesungguh-sungguhan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihad-nya dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan urusan keduniaan. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di atas petunjuk Allah maka Allah akan menunjukkan kepada-Nya berbagai jalan untuk menggapai keridhaan-Nya dan akan mengantarkan dirinya menuju ke dalam surga-Nya. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad, maka akan luput pula darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya.
Al Junaid mengatakan, “Orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu mereka di atas jalan Kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan, dan tidak mungkin sanggup berjihad menghadapi musuh fisik yang ada di hadapannya kecuali orang yang telah berjihad menundukkan musuh-musuh ini di dalam dirinya…”
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar menunjukkan kepada yang paling lurus.” (QS. Al-Israa’ [17]: 9)
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Kitab Suci ini (al-Qur’an) menjadi penuntun bagi umat manusia dalam mengarungi segenap problematika yang ada. Al-Qur’an senantiasa mengarahkan kepada urusan yang terbaik dan terlurus. Maka dari itu sudah semestinya kita berupaya menyibak makna-makna Kalamullah sebagaimana para sahabat dahulu. Apabila mereka membaca sepuluh ayat atau kurang lebih dari itu maka mereka tidak akan melewatinya kecuali setelah memahami kandungan iman, ilmu, dan amal yang tersimpan di dalamnya. Sehingga dengan metode inilah mereka bisa menerapkan ayat-ayat tersebut dalam menyikapi berbagai macam kenyataan yang muncul. Dan dengan cara inilah mereka akan memiliki keyakinan yang mantap terhadap berita-berita yang terkandung di dalamnya. Dengan cara inilah mereka bisa tunduk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, mereka akan bisa menempatkan segala macam realita dan persoalan yang terjadi pada diri mereka serta orang lain dalam timbangan ayat-ayat tersebut dalam rangka menilai : sudahkah mereka melaksanakan kandungannya dengan baik, ataukah mereka justru lalai dan mengabaikannya? Dan dengan cara mentadabburi ayat inilah mereka akan mengerti bagaimana kiat untuk bisa tetap tegar, kokoh, dan kuat dalam menjalani segala macam urusan yang mengundang kemanfaatan, dan juga untuk mewujudkan kembali kebahagiaan yang telah hilang atau menyusut dalam kehidupannya. Dengan cara mentadabburi ayat semacam inilah mereka akan mengetahui bagaimana cara untuk membebaskan diri dari segala marabahaya yang mencekam mereka. Dengan cara inilah mereka bisa memetik hidayah dari berbagai macam ilmu yang terkandung di dalam Al Qur’an, berakhlaq dan berperilaku sebagaimana yang dituntunkan olehnya. Sebab mereka menyadari bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu ditujukan untuk mereka. Sehingga merekapun tertuntut untuk memahami dan mengamalkan isi ajarannya. Demikianlah makna dari keterangan Syaikh As Sa’di.
Dengan al-Qur’an pula, seorang insan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati yang bersarang di dalam dadanya. Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya hati itu menghadapi ancaman dua penyakit yang mendatanginya. Apabila kedua penyakit ini berhasil menaklukkannya itulah kebinasaan dan kematiannya. Dua penyakit itu yaitu penyakit syahwat(hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan) kecuali orang-orang yang diselamatkan oleh Allah.” Semua penyakit hati ini muncul akibat kejahilan, dan obatnya adalah ilmu, sebagaimana sabda Nabi dalam hadits tentang orang yang terluka kepalanya dan mengalami junub kemudian para sahabat menyuruh orang itu untuk tetap mandi (besar) sehingga menyebabkan ia mati, beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah melaknat mereka, mengapa mereka tidak mau bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah dengan bertanya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain)
Penyakit-penyakit hati itu lebih susah untuk disembuhkan daripada penyakit-penyakit fisik. Karena puncak penyakit fisik hanya berakhir dengan kematian bagi si penderita, sedangkan penyakit hati akan menyebabkan kecelakaan abadi pada dirinya. Tidak ada satupun penyembuh bagi jenis penyakit ini kecuali dengan ilmu; oleh sebab itulah Allah menamai Kitab-Nya sebagai asy-Syifaa’ (penyembuh) bagi penyakit yang ada di dalam dada. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada di dalam dada dan petunjuk serta rahmatbagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57) Demikian keterangan Ibnul Qayyim.
----------------------------------------------
Tafsir Ibnu Katsir Juz 3
Syarh Aqidah Washithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Majalah Al Mawaddah vol36. Dzulhijah 1431- Muharam1432H
http://www.almanhaj.or.id
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=749
http://buku-islam.blogspot.com/2009/06/untukmu-yang-berjiwa-hanif.html
http://abumushlih.com/hidayah-itu-mahal-ya-akhi.html/
http://adiabdullah.wordpress.com/2007/08/28/hamba-selalu-membutuhkan-hidayah/
http://remajaislam.com/islam-dasar/menata-hati/58-hidayah-hanyalah-milik-allah.html
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/menggapai-ketentraman-dan-hidayah.html
1 komentar:
Yunas
memberi hidayah bagi orng yang tersesat...
Posting Komentar