Mengumpulkan Makna firmanNya dalam Al baqarah:272 (2)

| |


Bagian2 - Manusia senantiasa membutuhkan hidayah

Hidayah itu ada dua macam: hidayah berupa keterangan (hidayatul irsyad wal bayan) dan hidayah berupa pertolongan (hidayatut taufiq wal ilham). Kedua macam hidayah ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. Adapun selain mereka hanya mendapatkan hidayatul bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan taufiq dari Allah untuk mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal, hidayatul bayan tanpa disertai taufiq untuk beramal bukanlah petunjuk yang hakiki dan sempurna.

Maka wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian pentingnya hal ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari semalam di setiap raka’at shalat yang kita kerjakan. Yaitu dengan doa yang terdapat dalam surat al-Fatihah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم
“Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna shirathal mustaqim adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang sahabat yang lain. Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah kebenaran (lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/36).


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan khusus oleh Allah, yaitu jalannya para nabi, orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan orang-orang shalih. Bukan jalannya orang yang dimurkai, yang mereka mengetahui kebenaran namun sengaja mencampakkannya seperti halnya kaum Yahudi dan orang-orang semacam mereka. Dan jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh orang yang sesat; yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan mereka, seperti halnya kaum Nasrani dan orang-orang semacam mereka.”

Setelah mengemukakan bahwa hidayah yang dimaksud oleh ayat ‘Ihdinash shirathal mustaqim’  ada 2: ila shirath (menuju jalan yang lurus) dan fi shirath (di atas jalan yang lurus) Syaikh As Sa’di mengatakan, “Hidayah ‘ila shirath’ yaitu berpegang teguh dengan agama Islam dan meninggalkan semua agama yang lain. Sedangkan hidayah ‘fi shirath’ yaitu mencakup petunjuk untuk menggapai semua rincian ajaran agama dengan cara mengilmui sekaligus mengamalkannya. Maka doa ini termasuk doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk berdoa dengan doa ini di dalam setiap raka’at shalatnya dikarenakan begitu mendesaknya kebutuhan dirinya terhadap hal itu.”

Syaikhul Islam mengatakan, “…Sesungguhnya hakekat jalan yang lurus itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan mengilmui dan mengamalkannya (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Ayat ini mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut kecuali dengan hidayah dari-Nya.” (Al-Fawa’id, hal. 21)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya bukan karena sedemikian besar kebutuhan hamba untuk memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah ta’ala tidak perlu membimbing hamba-Nya untuk melakukan hal ini. Karena sesungguhnya setiap hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah ta’ala di sepanjang waktu dan keadaan agar petunjuk itu tetap terjaga, kokoh tertanam, semakin paham, meningkat, dan agar dia terus berada di atasnya…”

Syaikhul Islam rahimahullah berkata , “Seorang hamba senantiasa berhajat terhadap hidayah Allah menuju jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan tercapainya maksud di balik doa ini. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari azab dan bisa menggapai kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barang siapa yang kehilangan hidayah ini maka dia akan termasuk golongan orang yang dimurkai atau golongan orang yang sesat. Dan petunjuk ini tidak akan diraih kecuali dengan petunjuk dari Allah.

Adapun pernyataan, ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah’ merupakan ucapan orang yang tidak paham hakekat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi perintah Allah. Maka jawaban atasnya bahwa setelah seseorang mendapat hidayah memeluk agama Islam, ia tetap memerlukan hidayah agar ia dapat melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya dengan cara mengilmui dan mengamalkannya . Dan juga untuk menjaga (hamba) supaya tidak menerjang larangan Allah. Hidayah semacam ini sangat diperlukan di setiap saat, agar dia bisa berilmu dan beramal sebagaimana apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan tersebut. Hidayah dibutuhkan oleh hamba untuk membangkitkan tekad yang bulat dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula, diperlukan kebencian yang sangat dalam untuk bisa meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan tekad yang lebih spesifik ini sulit terbayang bisa dimiliki seseorang pada saat yang bersamaan. Bahkan pada setiap waktu hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah untuk mengaruniakan ilmu dan tekad ke dalam hatinya supaya dia bisa tetap berjalan di atas jalan yang lurus.

Memang benar bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk global yang menerangkan bahwa Al Qur’an adalah haq, Rasul pun haq dan agama Islam adalah benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat global ini belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih rinci dalam menyikapi segala perkara yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya yang mana mayoritas akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu, sampai-sampai hawa nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat itu telah mendominasi akal-akal mereka. Oleh sebab itu dia selalu membutuhkan ilmu yang lebih rinci untuk bisa mengikis kebodohan dirinya. Selain itu dia juga memerlukan sikap adil dalam mengendalikan rasa cinta dan benci, dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam mengendalikan diri untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu, dalam mengendalikan diri untuk memberi atau tidak memberi kepada orang, dalam hal makan dan minumnya, dalam kondisi tidur dan terjaga.
Masing-masing hamba tak akan lepas dari salah satu kondisi berikut:
PERTAMA : Kondisi yang berbagai amalan yang ia lakukan tidak sebagaimana mestinya, lantaran jahalah (ketidaktahuannya). Kala itu, ia membutuhkan hidayah dari Allah, berupa terbukanya pintu ilmu.
KEDUAKondisi yang ia telah mengenal hidayah, namun ia melakukan hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya dengan sengaja. la membutuhkan hidayah untuk dapat bertaubat.
KETIGA : Kondisi yang ia tidak mengenal hidayah secara  ‘ilmiyah ataupun amaliyah. Sehingga ia kehilangan hidayah, baik berupa ilmu pengetahuan maupun keinginan mendapati dan mengamalkannya.
KEEMPATKondisi yang ia telah mendapat hidayah, namun hanya mampu mengamalkan sebagian dari satu amalan menurut petunjuk, sementara sebagian yang lain tidak. Orang seperti itu membutuhkan hidayah untuk dapat melakukannya secara sempurna.
KELIMAKadangkala seseorang mampu melakukan sesuatu amalan menurut bingkai dasarnya, namun belum mampu mengamalkannya secara rinci. Orang tersebut membutuhkan hidayah yang bisa membimbingnya untuk mengamalkannya secara rinci.
KEENAMKadangkala seseorang telah mendapat suatu hidayah, namuni ia masih membutuhkan hidayah lain dalam penerapannya. Karena hidayah menuju satu jalan berbeda dengan hidayah dalam meniti jalan tersebut. Bisa kita contohkan, seperti seseorang yang telah mengenal jalan ke negeri si anu, yaitu melalui jalan ini dan itu. Namun ia tak mampu menempuhnya dengan baik. Karena untuk menempuhnya dibutuhkan hidayah lain yang lebih khusus. Misalnya, seperti perjalanan yang harus dilakukan di waktu-waktu tertentu dan menghindari perjalanan pada waktu-waktu tertentu, dia harus mengambil perbekalan air di tempat ini dan itu dengan jumlah tertentu, beristirahat juga di tempat ini atau itu. ltulah yang dimaksud hidayah dalam penerapan satu amalan. Kerapkali orang yang telah mengenal satu jalan tidak mempedulikan hal itu, akhirnya ia celaka dan tidak sampai pada tujuannya.
KETUJUHSeseorang juga membutuhkan hidayah dalam satu amalan yang akan dilakukan, untuk masa- masa mendatang, sebagaimana petunjuk/hidayah yang telah ia peroleh di masa lampau.
KEDELAPANKadang-kadang seseorang tidak memiliki keyakinan sama sekali pada suatu amalan, apakah itu benar atau salah Ia membutuhkan hidayah untuk mengetahui kebenarannya.
KESEMBILANKadang seseorang yakin bahwa dirinya berada di atas kebenaran, padahal ia dalam kesesatan sementara dirinya tidak merasa.  Maka orang itu membutuhkan hidayah untuk beralih dari keyakinan yang salah itu dengan bimbingan Allah.
KESEPULUHTerkadang seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai dengan petunjuk, namun ia membutuhkan hidayah untuk dapat membimbing orang lain menuju hidayah itu, mengarahkan dan dan menasehatinya.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika itu akan tampak bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan hendaknya kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan sebagai bentuk hukuman dari-Nya maka sudah semestinya kamu sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya untuk menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Dan mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukan-keburukan.”

Beliau melanjutkan, “Seluruh ahli ma’rifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri, dan hakekat dibiarkan dan tidak dipedulikan (al khudzlan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci untuk mendapatkannya adalah do’a, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya…”

Di antara hidayah teragung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya adalah niat yang baik dan pemahaman yang benar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah seorang hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (alladzina an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’lamul Muwaqqi’in, I/87)



Tafsir Ibnu Katsir Juz 3
Syarh Aqidah Washithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Majalah Al Mawaddah vol36. Dzulhijah 1431- Muharam1432H
http://www.almanhaj.or.id
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=749
http://buku-islam.blogspot.com/2009/06/untukmu-yang-berjiwa-hanif.html
http://abumushlih.com/hidayah-itu-mahal-ya-akhi.html/
http://adiabdullah.wordpress.com/2007/08/28/hamba-selalu-membutuhkan-hidayah/
http://remajaislam.com/islam-dasar/menata-hati/58-hidayah-hanyalah-milik-allah.html
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/menggapai-ketentraman-dan-hidayah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar