Mengumpulkan Makna firmanNya dalam Al baqarah:272 (5-habis)

| | 0 komentar


Bagian 5- Sedekahnya Seorang Muslim

Diriwayatkan oleh Abu Huzaifah, Ibnul Mubarak, Abu Ahmad Az-Zubairi, dan Abu Daud Al-Hadrami, dari Sufyan (yaitu As-Sauri). Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdurrahman ayahku telah menceritakan kepadaku dari ayahnya; Asy'aS ibnu Ishaq telah menceritakan kepada kami dari Ja'far ibnu Abdul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. memerintahkan agar janganlah diberi sedekah kecuali orang-orang yang memeluk Islam, hingga turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk.(Al-Baqarah: 272), hingga akhir ayat.

Setelah ayat ini turun, maka Nabi Saw. memerintahkan memberi sedekah kepada setiap orang yang meminta kepadamu dari semua kalangan agama. Dalam hadis Asma binti As-Siddiq akan dijelaskan masalah ini, yaitu dalam tafsir firman-Nya:

Allah tidak melarang kalian (untuk berbuat baik dan berlaku adil)terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. (Al Mumtahanah: 8)

Mengumpulkan Makna firmanNya dalam Al baqarah:272 (4)

| | 0 komentar


Bagian 4- Hikmah Adanya Kesesatan dan Kewajiban Berusaha Menggapai Hidayah

Terulang-ulang dalam Al-Qur’an dijadikannya amalan yang ada pada qalbu dan anggota badan sebagai sebab hidayah atau sebab kesesatan. Sehingga pada qalbu dan anggota badan ini terdapat amalan-amalan yang membuahkan datangnya petunjuk, layaknya hubungan sebab akibat. Demikian pula kesesatan.
Amal kebaikan membuahkan hidayah. Seiring bertambahnya amal kebaikan maka hidayah pun akan meningkat. Sementara amal kejahatan sebaliknya. Hal itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai amal kebaikan sehingga memberikan balasan atasnya dengan hidayah dan keberuntungan, serta membenci amal kejahatan dan membalasinya dengan kesesatan dan kesengsaraan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai kebaikan dan mencintai para pemeluknya sehingga mendekatkan qalbu mereka kepada-Nya seukuran kebaikan yang mereka lakukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membenci kejahatan dan para pemeluknya sehingga menjauhkan qalbu mereka dari-Nya seukuran dengan kejahatan yang melekat pada dirinya. Yang mendasari prinsip ini di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 1-2)

Mengumpulkan Makna firmanNya dalam Al baqarah:272 (3)

| | 1 komentar


Bagian 3- Perjuangan Meraih Hidayah


Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. Al An’aam [6]: 82)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud,
لَمَّا نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ قَالَ لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} بِشِرْكٍ أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman.” Kami (para sahabat) mengatakan, “Wahai Rasulullah. Siapakah di antara kita ini yang tidak melakukan kezaliman terhadap dirinya ?”

Maka Rasulullah pun menjawab, “Maksud ayat itu tidak seperti yang kalian katakan. Sebab makna, “Tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” adalah (tidak mencampurinya) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya, “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.”

Menurut para sahabat ayat ini berlaku umum mencakup semua bentuk kezaliman. Sehingga mereka menyangka kezaliman terhadap diri sendiri pun tercakup dalam syarat untuk mendapatkan keamanan dan hidayah yang disebutkan oleh ayat ini. Artinya orang yang menzalimi dirinya (dengan berbuat maksiat, pent) tidak akan termasuk orang yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Sehingga hal ini tentu memberatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab musykilah yang muncul dalam pikiran para sahabat dengan menjelaskan bahwa kezaliman yang benar-benar melenyapkan anugerah keimanan dan petunjuk adalah kezaliman yang berupa kesyirikan. Sebab dengan berbuat syirik seorang hamba telah berani menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya.

Mengumpulkan Makna firmanNya dalam Al baqarah:272 (2)

| | 0 komentar


Bagian2 - Manusia senantiasa membutuhkan hidayah

Hidayah itu ada dua macam: hidayah berupa keterangan (hidayatul irsyad wal bayan) dan hidayah berupa pertolongan (hidayatut taufiq wal ilham). Kedua macam hidayah ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang bertakwa. Adapun selain mereka hanya mendapatkan hidayatul bayan saja. Artinya mereka tidak mendapatkan taufiq dari Allah untuk mengamalkan ilmu dan petunjuk yang sampai kepada dirinya. Padahal, hidayatul bayan tanpa disertai taufiq untuk beramal bukanlah petunjuk yang hakiki dan sempurna.

Maka wajarlah jika Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang ‘alim (orang yang berilmu) itu masih dianggap jahil (bodoh) selama dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian pentingnya hal ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah minimal 17 kali dalam sehari semalam di setiap raka’at shalat yang kita kerjakan. Yaitu dengan doa yang terdapat dalam surat al-Fatihah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم
“Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna shirathal mustaqim adalah Islam, tafsiran serupa dikatakan oleh beberapa orang sahabat yang lain. Sedangkan menurut Mujahid yang dimaksud dengan shirathal mustaqim adalah kebenaran (lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/36).

Mengumpulkan Makna firmanNya dalam Al baqarah:272 (1)

| | 0 komentar


Bagian1- Hidayah di tangan Allah

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberikan petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al Baqarah: 272)

Abu Abdur Rahman An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdus Salam ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka (kaum muslim pada permulaan Islam) ddak suka bila nasab mereka dikaitkan dengan orang-orang musyrik. Lalu mereka meminta, dan diberikan keringanan kepada mereka dalam masalah ini. Maka turunlah ayat tersebut.

Ayat tersebut merupakan jawaban/penjelasan atas rasa tidak senang kaum muslimin permulaan Islam jika nasab mereka dikaitkan dengan orang musyrik. Allah memberikan penjelasan bahwa hanya Dia lah yang memberikan petunjuk bagi siapa yang dikehendakinya. Hidayah tidak dipengaruhi oleh faktor nasab/keturunan/kekerabatan. Hidayah adalah nikmatnya yang agung yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Meskipun demikian, kita dapati sebagian orang yang menyepelekan hidayah yang agung ini atau menyia-nyiakannya. Betapa banyak di antara mereka yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk memeluk agama Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan sholat, membayarkan zakat, berpuasa Ramadhan, bahkan bisa menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit di antara mereka yang tidak menyadari betapa besar anugerah yang Allah berikan kepada mereka. 

Sudahkah Kita Ikhlas?

| | 0 komentar



Pernah dengar kalimat ini, ?
"Menasihati itu harus dari hati, sebab hati hanya bisa disentuh dengan hati"

Walaupun kalimat tersebut abstrak, tapi saya menyetujuinya, juga barangkali sebagian besar pembaca setuju atas pernyataan itu. Akan tetapi, sebagian mungkin masih merasa maknanya sangat abstrak dan sulit untuk dipahami. Nah, semalam, saya mendengarkan sebuah rekaman kajian yang berjudul "Berdakwah dengan Hati". Materi tersebut terdiri dari beberapa part rekaman file mp3. Dan yang baru sempat saya dengarkan adalah file part 1, yang menerangkan tentang ikhlas dalam berdakwah.

Ya, ikhlas. Itulah penjelasan dari kalimat hati hanya dapat disentuh dengan hati, khususnya dalam rangka nasihat-menasihati. Kita tahu bahwa ikhlas itu letaknya di dalam hati, dan hanya hati dalam kondisi sehat lah yang dapat mencapai ikhlas -biidznillah-. Ustad Abdullah Zen dalam kajian tersebut menerangkan mengenai ikhlas dalam berdakwah. Ikhlas dapat membuat nasihat atau ajakan lebih diterima oleh objeknya. 

OSPEK

| | 0 komentar



Kata ospek pastinya sudah tidak asing lagi terdengar. Selama ini, ospek masih identik dengan kekerasan dan hal-hal yang negatif. Banyak civitas akademika yang serta merta tidak menyukai ospek. Alasannya tentu saja takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih-lebih dari mereka, orang tua mereka lebih banyak yang antipati terhadap kegiatan ospek. Namun, apakah ospek memang benar tidak bermanfaat sama sekali.

Saya sendiri bersikap tidak menentang tetapi juga tidak terlalu mengapresiasi. Tidak semua dari ospek itu negatif, bahkan menurutku begitulah sebagian gambaran kehidupan. Masih teringat sekali, nasihat dari ketua OSIS pada waktu aku mengikuti LDK di SMA. Ia berkata kepada kami, kenapa ketika ospek semua seolah salah meskipun sudah benar tetap sering disalahkan. Dan inilah yang ia sampaikan : "Nanti ketika kalian sudah terjun dalam kehiidupan bekerja maupun bermasyarakat, mungkin kalian akan mendapatkan keadaan seperti itu. Ketika kalian sudah berusaha optimal, sudah memberikan yang terbaik, tetapi tetap menerima caci maki, atau paling tidak koreksi. "