Mengumpulkan Makna firmanNya dalam Al baqarah:272 (1)

| |


Bagian1- Hidayah di tangan Allah

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberikan petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al Baqarah: 272)

Abu Abdur Rahman An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdus Salam ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka (kaum muslim pada permulaan Islam) ddak suka bila nasab mereka dikaitkan dengan orang-orang musyrik. Lalu mereka meminta, dan diberikan keringanan kepada mereka dalam masalah ini. Maka turunlah ayat tersebut.

Ayat tersebut merupakan jawaban/penjelasan atas rasa tidak senang kaum muslimin permulaan Islam jika nasab mereka dikaitkan dengan orang musyrik. Allah memberikan penjelasan bahwa hanya Dia lah yang memberikan petunjuk bagi siapa yang dikehendakinya. Hidayah tidak dipengaruhi oleh faktor nasab/keturunan/kekerabatan. Hidayah adalah nikmatnya yang agung yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Meskipun demikian, kita dapati sebagian orang yang menyepelekan hidayah yang agung ini atau menyia-nyiakannya. Betapa banyak di antara mereka yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk memeluk agama Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan sholat, membayarkan zakat, berpuasa Ramadhan, bahkan bisa menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit di antara mereka yang tidak menyadari betapa besar anugerah yang Allah berikan kepada mereka. 

Kandungan Albaqarah 272 tersebut  tersebut juga sesuai dengan firman Allah yang mengisahkan paman Rasulullah, Abu Thalib.
Allah berfirman: 

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki". [Al Qashash/28 : 56].

Dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran.Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh menukil perkataan Ibnu Katsir rahimahullah tentang tafsir ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada RasulNya, ‘Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi,’ artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang mengalahkan.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan di dalam Shahih mereka berdua, dari Sa’id bin al-Musayyab dari bapaknya, bahwa pada saat kematian sudah hampir menemui Abu Thalib -paman Nabi- maka datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Namun ternyata di sisi pamannya itu telah dijumpainya Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untukmu di sisi Allah.” Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada ajaran Abdul Muthallib -ayahmu-?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan ajakan itu kepada pamannya dan mengulang-ulang ucapan tadi. Sampai pada akhirnya Abu Thalib mengatakan di akhir pembicaraannya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan la ilaha illallah… (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/60-61])

Dari kisah ini kita dapat mengetahui betapa tinggi dan mahalnya nilai hidayah. Siapakah Nabi Muhammad dan siapakah Abu Thalib? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang utusan Allah yang malaikat pun bersedia menawarkan bantuan kepadanya atas izin Allah. Adapun Abu Thalib adalah pamannya sendiri yang selama hidup senantiasa membela Nabi dan melindunginya dari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy. Meskipun demikian, lihatlah… bagaimana kondisinya menjelang ajal. Di saat semua orang membutuhkan keimanan, di saat itu pun ternyata kalimat tauhid pun tidak kunjung dia ucapkan. Dia enggan, padahal dia telah mengetahui bahwa ajaran Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebenaran. Taufik di tangan Allah.

Di antara pelajaran dari hadits di atas adalah:
1.     Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menguasai pemberian hidayah/taufik, bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain. Demikian juga pemberian syafa’at, bukan milik beliau! (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang kuasa memberikan hidayah kepada orang yang Allah kehendaki…” (QS. al-Qashash: 56)
2.     Tingginya semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berupaya menyampaikan hidayah ke dalam hati orang yang didakwahi terlebih lagi jika mereka adalah sanak familinya sendiri (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
3.     Kisah ini menunjukkan besarnya keutamaan tauhid. Oleh sebab itu kita tidak boleh sedikitpun mempersembahkan doa/ibadah kepada selain Allah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
4.     Datangnya taufik itu semata-mata bersumber dari Allah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
5.     Kedudukan Nabi tidak boleh ditinggikan melebihi kedudukan Allah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
6.     Menceritakan kekafiran yang dilakukan orang lain tidak selayaknya menggunakan kata ganti pertama -saya- (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
7.     Meskipun kalimat tauhid itu ringan dan mudah diucapkan, namun ternyata tidak bisa mengucapkannya melainkan orang yang mendapatkan taufik dari Allah ta’ala(Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
8.     Keluarga dan persahabatan itu memiliki pengaruh terhadap agama seseorang (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
9.     Orang yang meninggal di atas kemusyrikan maka dia akan berada kekal di neraka Jahannam. Dan dia dihukumi sebagai orang yang berhak masuk neraka/ash-haabul jahiim (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang). Semoga Allah menyelamatkan kita darinya…
10.  Disyari’atkannya menuntun orang yang sekarat/akan meninggal untuk mengucapkan la ilaha illallah, yaitu dengan memerintahkannya mengucapkan la ilaha illallah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi, bukan hanya sekedar mengingatkannya -tanpa memerintah- (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
11.  Bolehnya mendoakan agar orang-orang musyrik mendapatkan hidayah (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
12.  Disyari’atkannya menyambung tali kekerabatan meskipun dengan saudara yang kafir (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)
13.  Diperbolehkannya menjenguk orang kafir yang sakit dengan maksud mendakwahi atau menarik simpati mereka supaya masuk Islam (Keterangan Syaikh Walid dalam Daurah Shahih Muslim di Kaliurang)

Abu Thalib bukanlah kisah yang pertama dan satu-satunya. Lihatlah bagaimana Nabi Nuh ‘alaihi sallam, tidak bisa berbuat apa-apa ketika anaknya memilih kekafiran.

(Artinya: Dan Nuh memanggil anaknya dan dia berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai Anakku, naiklah bersama kami dan jangan Engkau bersama orang-orang yang kafir!”) (Hud: 42)
Maka anaknya menjawab,
(Artinya: Anaknya menjawab, “Aku akan berlindung ke atas gunung yang akan menjagaku dari air ini!” Maka Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari urusan ALLAH ini kecuali yang ALLAH rahmati. Dan mereka berdua terhalangi oleh gelombang, maka anaknya tersebut termasuk dari mereka yang ditenggelamkan.)(Hud: 43)

Di lain pihak, siapa yang menyangka seorang Fir’aun, simbol dari kesewenang-wenangan, lambang dari kelaliman seorang penguasa, maskot dari kesemena-menaan, bahkan dengan lancangnya mengaku sebagai Rabbul ‘alamin, ternyata istrinya adalah seorang mukminah. ALLAH Ta’ala menyebutkannya di dalam Al Qur’an:
(Artinya: Dan ALLAH menjadikan istri Fir’aun sebagai permisalan bagi orang-orang yang beriman ketika dia berkata, “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu, sebuah rumah yang berada di surga. Dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.”) (At-Tahrim: 11)

Dalam ayat lain, ALLAH Ta’ala juga berfirman,
(Dan sesungguhnya Engkau (wahai Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuura: 52)

Hidayah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah hidayah yang berupa petunjuk, bimbingan, dan penjelasan kepada umat tentang jalan yang lurus, yaitu Islam. Sedangkan hidayah yang berupa taufik dari ALLAH, berupa penerimaan seseorang terhadap dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan mengambilnya sebagai pedoman hidupnya, adalah kehendak ALLAH semata. Siapa yang ALLAH kehendaki untuk mendapatkan hidayah, maka dia akan mendapatkannya, siapapun dia dan di manapun dia. Siapa yang ALLAH tidak kehendaki untuk mendapatkan hidayah, maka tidak akan dia mendapatkannya, siapapun dan di manapun dia.

Maka sungguh pantas bagi kita untuk bersyukur ketika ternyata ALLAH Ta’ala menghendaki kita untuk mendapatkan hidayah ini. Suatu karunia dan nikmat yang tak ternilai harganya. Tidak semua orang mendapatkan kenikmatan yang sungguh luar biasa besarnya ini. Tentu kita berusaha bersyukur kepada ALLAH Ta’ala dengan cara menjaga bagaimana agar nikmat ini tidak pergi dari kita. Kita jaga nikmat yang agung ini dengan menjaga keta’atan kita kepada ALLAH Ta’ala. Jangan sampai perbuatan dosa dan maksiat yang kita lakukan menjadi sebab hilangnya kenikmatan ini. Mudah-mudahan ALLAH Ta’ala mengumpulkan kita kelak bersama dengan orang-orang yang mendapatkan hidayah. 

Tafsir Ibnu Katsir Juz 3
Syarh Aqidah Washithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Majalah Al Mawaddah vol36. Dzulhijah 1431- Muharam1432H
http://www.almanhaj.or.id
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=749
http://buku-islam.blogspot.com/2009/06/untukmu-yang-berjiwa-hanif.html
http://abumushlih.com/hidayah-itu-mahal-ya-akhi.html/
http://adiabdullah.wordpress.com/2007/08/28/hamba-selalu-membutuhkan-hidayah/
http://remajaislam.com/islam-dasar/menata-hati/58-hidayah-hanyalah-milik-allah.html
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/menggapai-ketentraman-dan-hidayah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar