Lagi-lagi sebuah tulisan mengenai wanita dan pernikahan. Tergelitik saja, setelah membaca dua artikel milik dua orang teman, Laeliyatul Masruroh Nur: Kapan Menikah? dan juga Jazimah Al-Muhyi: UNTUK YANG TERCINTA: PARA LAJANGWATI. Sebenarnya, uneg-uneg ini sudah cukup lama parkir di hati dan pikiran, cuma baru-baru ini saja seperti dipantik lagi gara-gara hangatnya pembicaraan mengenai nikah (kayaknya, pembicaraan nikah memang akan selalu menjadi hot gossip :p). Ketahuilah bahwa untuk mulai mencurahkan pemikiran ini ke dalam tulisan, terasa sangat berat, tapi bismillah sajalah...
Nampaknya, hidup ini akan selalu dipenuhi dengan pertanyaan yang kebanyakan terasa sangat basi karena berulang-ulang ditanyakan. Ketika kecil, masih imut-imut gitu, kita pasti ditanya, udah sekolah belum, umurnya berapa? Lalu, beranjak kita ke bangku sekolah, maka pertanyaan akan berganti, sekarang kelas berapa, rangking berapa, kapan ujian? bla..bla..bla.. Beranjak lagi, maka akan ditanya .. kapan lulus? mau ngelanjutin ke mana? ini sampai saat kita mau kuliah. Begitu kita udah kuliah, maka akan ada pertanyaan lagi, gimana kuliahnya? sudah punya pacar belom? kapan lulusnya? Sesudah lulus kuliah, kita pun akan ditanya, sudah kerja di mana? dan...KAPAN NIKAH?..
Belum sobat, pertanyaan kapan nikah yang akan dirasakan sangat mengganggu ketentraman hidup ini bukan pertanyaan terakhir kurasa. Masih banyak pertanyaan menanti setelah kita menikah, kapan punya anak? kapan anaknya punya adik lagi? kapan..kapan dan kapan..hehe jadi inget iklan di tipi, barangkali jika anak kita sudah besar nanti, pertanyaan itu akan menjadi KAPAN MANTU? Begitulah, kapan demi kapan eh..pertanyaan demi pertanyaan akan selalu hadir dalam hidup kita. Akan tetapi, rasanya jarang (bahkan mungkin tidak ada ya) yang menanyakan "Kapan mati?" (hihihi..serem amat pertanyaannya..), padahal kan kematian itu sudah pasti kita akan sampai kepada titik itu. Eh, kok malah bahas mati sih, emang ada kaitannya gitu sama nikah?
Mati memang ga ada kaitannya secara langsung dengan nikah. Tetapi keduanya punya benang merah, sebuah kata bernama kepastian. Menyitir kata-kata yang pernah disampaikan seorang teman, " Jodoh memang sudah pasti, tapi kematian adalah kepastian yang lebih pasti", begitu kira-kira. Keduanya, nikah dan mati adalah proses-proses dalam hidup. Keduanya, nikah (baca: jodoh) dan juga mati sama-sama sudah ditentukan, dan kita pun mesti berikhtiar untuk menyambut kepastian-kepastian itu. Pertanyaan yang muncul adalah , kalau sudah pasti, kok masih bikin resah ya? Siapa bilang saya tidak pernah merasa resah sepanjang penantian dan ikhtiar ini. Saya rasa resah yang dirasakan orang-orang dalam menjemput kepastian bernama jodoh itu adalah manusiawi.
Akan tetapi, keresahan saya semakin bertambah tatkala orang-orang yang sama-sama dalam keresahan telah membuat saya malu sebagai perempuan, dan bahkan ada juga yang sampai "menorehkan noda" pada kemuliaan seorang muslimah dihadapan Rabbnya. Na'udzubillah. Namun, di sisi lain saya pun menyadari, hal ini tidak bisa juga sepenuhnya menjadi tuduhan pada mereka. Jujur, saya merasakan bahwa kebanyakan pembicaraan mengenai pernikahan itu tidak imbang, dan tidak jarang bernada memojokkan, bahkan mendiskreditkan wanita-wanita yang belum menikah. Seolah-olah, wanita yang belum menikah itu hina, seolah-olah wanita yang belum menikah itu wanita yang hanya berorientasi dunia, dan masih banyak seolah-olah lainnya. Ya, mana ada sih wanita yang ga mau nikah, jujur deh, jawab dengan hati nurani sebagai perempuan. Sampai-sampai ada yang pernah mengatakan, keinginan perempuan yang terbesar adalah menikah, setelah menikah maka akan muncullah keinginan-keinginan lainnya.
Ringkasnya, provokasi nikah yang terjadi dewasa ini bisa saya katakan kurang seimbang. Di satu sisi memang sangat baik, yaitu menyadarkan akan bahaya zina, tawaran berbagai macam produk zina yang dapat kita jumpai dengan mudah ada dimana-mana. Akan tetapi, di sisi lain, wacana nikah diberikan hanya mengumbar sisi keindahan-keindahannya saja. Barangkali karena ketidakseimbangan inilah, sebagian wanita beranggapan, menikah adalah cara yang sempurna untuk mengakhiri segala penderitaan dan masalahnya. Padahal kata ibu-ibu yang sudah berpuluh-puluh tahun menikah tuh ya, mereka bilang, menikah itu awal dari segala kesengsaraan. Wanita itu akan banyak berkorban perasaan setelah ia menikah, gitu kata ibu-ibu itu. Memang begitukan, romance, romantisme itu tidak selalu berwujud keindahan, bahkan tak jarang penuh dengan pengorbanan.
Pantasnya kita meneropong pada himpunan semestanya, yaitu hidup. Nikah hanya himpunan bagian dalam semesta bernama kehidupan. Adapun sebagai orang yang beriman, yang mengimani hari akhir, yang mengimani bahwa tiap yang hidup pasti mati, maka kita mesti kembali pada tujuan hidup ini. Sepakat kan kalau tujuan hidup itu untuk hidup, hidup di alam akhirat nanti. Apa yang kita harapkan? Ridlo Allah, menatap wajah Allah, dan dibersamakanNya kita bersama Rasulullah sallallahu 'alaihi wassalam,bersama orang-orang shalih, di surga nanti. Jadi, bukankah seharusnya menikah itu dikembalikan pada tujuan hidup kita.
Memang menikah bisa menjadi salah satu jalan untuk menggapai surga. Itu bila kita menikah dengan orang yang shalih/shalihah yang bisa saling mendukung untuk mewujudkan tujuan itu. Itu bila kita mampu menjalankan tanggung jawab sebagai suami/istri. Nah kalau malah sebaliknya, bukankan Allah ta'ala juga memberi peringatan bahwa keluarga juga bisa menjadi ujian keimanan bagi manusia? Semoga dengan selalu menjaga kesadaran, menjaga niat kita, maka keresahan itu tidak akan menjadikan malapetaka bagi ketakwaan kita. Sesungguhnya memang benar bahwasanya ikhtiar yang paling baik untuk menjemput jodoh adalah dengan senantiasa memperbaiki diri. Dan ini memang sulit. Akan tetapi, menikah bukan akhir hidup. Menikah juga bukan akhir perjuangan. Sebaliknya, menikah itu awal perjuangan baru yang jauh lebih berat. Oleh karena itulah maka perlu "bekal" yang tidak sedikit. Menikah memang tidak mudah, tapi bukan untuk dipersulit.
(Perjuangan belum berakhir, perjalanan ini masih panjang, teruslah berjuang, ingat-ingatlah selalu tujuan hidupmu. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk mencapai ketakwaan. Barakallahu fiikum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar