Dont Measure from Cover

| |

Ini bukan soal buku, tetapi soal manusia. Memang susah untuk mengetahui dengan pasti kepribadian seseorang, karena itu semua letaknya di hati, dan hati itu hanya Allah -sebenarnya juga pemiliknya- lah yang tau. Itulah manusia, dengan segala keterbatasannya. Sehingga Allah pun memberikan rambu-rambunya pada orang-orang yang mengaku beriman agar mengenakan pakaian taqwa. Ya, pakaian yang menjaga dan memuliakan hamba-Nya.
Pakaian sebagai salah satu parameter fisik yang memang telah ditetapkan oleh Pencipta kita, seharusnya ia menjadi sebuah cerminan atas sempurnanya penghambaan. Semakin seorang sadar akan tujuan hidupnya, semakin ia akan mengennal Tuhan, semakin ia mengenal Tuhan, semakin ia menerima dan dengan penuh kesadaran menjalankan aturan-aturanNya, termasuk di dalamnya soal pakaian. Namun, dewasa ini nampaknya sudah bergeser. Antara pakaian sebagai cerminan ketakwaan seseorang dengan nilai pakaian sebagai mode dan identitas simbolik. Saya bukan berbicara soal pakaian mini lo ya, justru saya berbicara soal pakaian takwa. Ya, pakaian takwa yang fungsinya kini sudah banyak bergeser. Wa bil khusus, saya bicara soal pakaian takwa bagi muslimah, karena pakaian takwa muslimah ini bisa dikatakan lebih memiliki kekhasan yang menonjol dibandingkan dengan busana takwanya pria.
Gini, lebih praktisnya saya beri sebuah kasus. Seorang muslimah, yang berbalutkan abaya lengkap dengan burqa ataupun purdahnya. Demikian itu, secara umum saya rasa akan ada dua penilaian "ekstrim". Pertama orang yang termakan paradigma umum media masa yang kemudian menyikapinya dengan antipati, teroris, atau aliran sesat, katanya. Kedua, orang yang sudah memahami soal jilbab muslimah dan sangat berhusnudzon, maka kemungkinan akan menumbuhkan sikap hormat dan kagum, beranggapan bahwa ia orang yang zuhud, berilmu dan insya Allah berakhlaq mulia. Ok, itu hanya contoh kasus saja, biar lebih mudah dipahami. Saya harap malah bukan bikin bingung. 
Permasalahannya adalah, realita yang terjadi banyak sosok seperti itu yang berada diantara dua asumsi ekstrim yang saya sebutkan. Bukan, ia bukan seorang teroris tentunya. Kita tetap pada husnudzon, orang itu adalah seseorang yang menginginkan dirinya menjadi sosok seperti asumsi kedua, sosok yang berilmu, zuhud, berakhlaq mulia. Sosok yang menjadikan hijabnya benar-benar sebagai cerminan atas ketakwaan dia. Akan tetapi, tak jarang sekarang ini hijab itu hanya sebatas identitas simbolik. Maka celakalah. Celaka bagi orang yang melakukan penilaian demikian, maupun celaka bagi subjek/pelakunya. Jadilah paradigma itu seperti ini, "wah dia  bajunya masih gaul gitu..." (ngerti ga maksud saya?). Ya, orang dengan paradigma seperti ini akan langsung menilai orang, mendefinisikan orang dari cara orang berpakaian. Begitu pula sebaliknya, bagi si pelaku, barangkali ia memakainya bukan karena kesadaran, melainkan lebih dominan karena malu dicap "ecek-ecek", celakanya kalau karena pakaian itu ia menjadi merasa "lebih mulia" dibandingkan yang lain. Na'udzubillah.
Sekali lagi, kita harus sadar akan keterbatasan manusia. Sehingga mau tidak mau, penilaian lahiriah adalah penilaian yang paling mudah, salah satunya berdasarkan pakaian. Meskipun sebenarnya, pemikiran, hati dan akhlaq seseorang tidak mutlak berbanding lurus dengan pakaian, masih ada faktor-faktor lain yang turut berpengaruh. Namun, tentunya kita pun tidak meragu atas perintahNya, karena IA hanya menginginkan kebaikan untuk hambaNya. Jadi sudah selayaknya mengenai pakaian ini, kita gunakan untuk mengukur diri kita sendiri. Barangkali bila memang kita belum mampu menggunakan yang lebih sempurna, barangkali itu karena kelemahan kita, kurangnya iman kita. Sudah selayaknya kita terus berupaya mengenal Nya, sehingga hati kita akan selalu terbuka menerima hidayah demi hidayah. Dan kita pun dapat menjadikan busana kita benar-benar sebagai cerminan kemilau cahaya keindahan syariat Islam yang juga terpancar dari kemuliaan akhlaq kita. Amin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar