Meminimalisasi fitnah atau Komunikasi yang buruk?

| |

Awal Ramadhan 1430 lalu kami para pengajar di sebuah TPA (Taman Pendidikan AL Qur'an) tengah berkumpul dalam rangka membahas materi TPA selama bulan Ramadhan. Katanya, mau menjadikan Ramadhan sebagai batu loncatan mengembangkan TPA dan meningkatkan sistem yang telah ada. Memang patut disayangkan, sebuah masjid yang cukup besar dan popular dan ramai kajian-kajian ilmu tapi pengelolaan TPA nya masih kurang tertata.
Oke, disini saya bukan mau membahas masalah pertemuan itu. Singkat saja, dari pertemuan itu telah disepakati beberapa hal mengenai rencana pengelolaan TPA. Wah hal ini tentu saja kian membangkitkan semangatku dan teman-teman. Sungguh sebuah awal yang baik.

Pada hari-hari pertama Ramadhan, kami ternyata belum dapat menjalankan rencana yang telah disepakati. Memang, sebelumnya kami hanya sekedar membua konsep, sebab hal tertentu ikhwan telah menyanggupi untuk menyempurnakannya, membuat jadwal yang fix. Saya sih percaya saja. Saya menunggu beberapa hari dan memaklumi karna hal itu bukanlah hal yang mudah.
Tetapi sungguh saya kecewa, sangat kecewa. Sampai dua minggu Ramadhan terlewati belum lagi kami dapat menjalankan pengelolaan yang lebih baik. Sebenarnya di mana letak beratnya, apakah memang benar-benar berat atau memang ada sesuatu yang salah? Tapi sebagai orang baru saya malas untuk berbuat macam-macam, protes dan semacamnya. Ah, saya sudah capek.
Saya hanya ingin mengungkapkan sebuah hal. Disini saya menyoroti hal komunikasi. Sungguh sangat disayangkan, setelah pertemuan yang merupakan sebuah potensi untuk mengadakan perbaikan tidak ada lagi pembahasan secara terbuka. Apakah memang dari pihak yang menyanggupi itu benar2 kesulitan, butuh bantuan atau bagaimana. Alangkah baik jika dapat diadakan komunikasi yang baik, pendelegasian tugas, atau semacamnya. Bukan hanya diam, diam yang tidak memberkan kejelasan apa-apa.
Saya menyadari, salah satu perkara yang seringkali menjadi dilema bagi mereka yang sudah mengerti adalah perkara ikhtilat, bagaimana bentuk interaksi antara lawan jenis yang dapat meminimalisasi fitnah. Sungguh, itu bukanlah hal yang mudah. Saya sadar benar jika memang ada ketakutan yang besar akan terjerumus ke dalam ikhtilat dan menimbulkan fitnah jika banyak-banyak interaksi.  Tetapi yang saya pertanyakan adalah, apakah kita akan selalu meninggalkan sisi profesionalitas? Tidakkah ada jalan tengah, atau memang benar-benar harus tanpa interaksi.
Saya memang hanya orang bodoh, tapi disini saya sangat menyayangkan sebuah rencana besar yang harus begitu saja berhenti pada rapat-rapat omong kosong. Sama sekali tak ada tindak lanjut yang nyata. Saya pikir, masih bisa dilakukan komunikasi untuk menjembatani kerisauan terjebak dalam ikhtilat tetapi jangan sampai menggagalkan segalanya.
Komunikasi adalah elemen yang penting dalam kehidupan bermasyarakat karena disitu ada interaksi maka disitu butuh komunikasi. Masalah yang akan selalu menghampiri dalam kehidupan bermasyarakat terkadang ia bisa menjadi besar atau kecil karena baik/ buruknya komunikasi.
Satu hal, saya mendengar ketika di akhir ramadhan keadaan yang ada justru kian tak terkendali.Bahkan pernah terjadi benar-benar ikhtilat? Untung saja saya ada kepentingan sehingga tak berkesempatan pada waktu itu, sehingga saya tak usah mengumbar amarah saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar