Kebanyakan orang punya pemaknaan tersendiri tentang sosok seorang ibu. Bicara tentang sosok ibu, membuatku kehabisan kata-kata. It sounds as a great wave resonans in my heart. Ibu..ibu...ibu.. lidahku kelu untuk bicara tentang ibu. Tak satupun kata meluncur mengungkapkan penuhnya perasaan dalam hati. Tak hanya untuk sosok ibu yang sebenarnya (ibu kandungku sendiri), bahkan untuk sosok-sosok ibu lain yang sejatinya tak ada hubungan kekerabatan apa-apa. Salah satunya pada sosok ibu di samping ini. Namanya, bu aisyah, lengkapnya Siti Ngaisyah. Saya dan teman-teman kadang memanggilnya dengan mbak Siti, karena memang usia yang tak jauh berbeda. Mbak Siti bukanlah seorang istri pejabat, atau tokoh wanita terkenal, mbak Siti hanyalah mbak Siti, salah satu dari sekian banyak amazing mom in this world..
Saya akan sedikit berbagi cerita tentang mbak Siti yang tinggal di sebuah dusun bernama Jokokasihan. Sebuah dusun di perbukitan menoreh yang jalan menuju ke sana cukup sulit di tempuh dengan kendaraan biasa. Awal pertemuan dan perkenalan saya dengan mbak Siti adalah bulan September 2007, pada sebuah event yang diselenggarakan FAM PII Yogyakarta.Mbak Siti hanyalah seorang tamatan SD yang sedang menempuh kejar paket B. Semangat mbak Siti dan rekan-rekan dalam belajar, sungguh luar biasa. Kritis, ingin mengenal hal baru, dan juga cepat memahami. Motivasinya, simpel saja, ia ingin belajar agar bisa mengajari anak-anaknya. Gak muluk-muluk.Dan berita terakhir yang sampai pada saya, mbak Siti lulus ujian kejar paket B dengan nilai yang baik. Subhanallah, saat ujian kejar kemarin konon ceritanya mbak Siti sudah hamil 6-7 bulanan, dan bayangkan mbak Siti harus berjalan kaki menuruni bukit demi mencapai tempat ujian (kalo orang biasa yang jalan kaki, mungkin bisa 1 jam). Mbak Siti bahkan belum puas dengan ilmu yang ditempuhnya, ia meminta penyelenggara PLS membuka kejar paket C. Sayangnya, kondisi jalan yang semakin rusak membuat pihak penyelenggara cukup kesulitan untuk merealisasikannya.
Masih banyak hal yang aku dan teman-teman kagumi dari sosok mbak Siti. Perjuangannya agar anaknya memperoleh pendidikan yang memadai, sungguh luar biasa. 2 tahun ia mengantar putra pertamanya, faqih, bersekolah di PAUD yang letaknya tidak dekat dengan rumahnya. Ia sering berjalan kaki sambil menggendong anaknya untuk belajar di PAUD. Tak ada keluh kesah yang tampak dari raut wajahnya bahkan ia bercerita dengan nada kepuasan. Apalagi sekarang putranya telah duduk di bangku SD dan konon prestasinya menjadi unggulan di sana.Subhanallah, barangkali itulah sebagian kecil dari buah perjuangan seorang ibu untuk anaknya.
Hal yang tak kalah menariknya tentang mbak Siti adalah ketika aku dan teman-teman mengamati keluarganya. Mbak Siti dan suami hanyalah buruh-buruh cengkeh.Keduanya hanya lulusan pesantren, dengan tingkat pendidikan yang setaraf SD yang lalu melanjutkan lewat program kejar paket B. Rumahnya, sederhana sekali, dindingnya anyaman bambu, beralaskan tanah. Tapi cobalah berkunjung ke sana, insya Alloh ketenangan dan kesejukan merayapi. Ditambah dengan keakraban yang kian menghangatkan suasana. hmmhh..Sungguh, ketika melihat kehidupan beberapa keluarga yang saya menyebutnya, menyejukkan...Hati terasa tenang seolah tak ada beban dalam hidup.
1 komentar:
Subhanallah ya Ukhty, membacanya mjd terharu. Smoga kita bs mencontoh semangatnya untuk terus belajar (terutama ilmu syar'i) dan mendidik anak2 kita dgn ilmu td, shg mnjd generasi yg tangguh, tegak di atas Al-Qur'an dan sunnah ssuai pmahaman salafush sholeh, insya Allah.
Baarokallahu fiyk...
Posting Komentar