Berikut saya mintakan izin kepada suami istri (teman saya) untuk memposting sebuah surat yang sebenarnya mereka tujukan untuk memberi nasihat kepada temannya. Setelah saya membaca berulang-ulang dan mencoba meyakinkan diriku apakah sudah benar-benar saya resapi (Ya Alloh, berilah aku kemampuan menjadi orang yang demikian) barulah saya berani mempostingnya. Saya berharap tulisan mereka ini dapat terus menjadi renungan dan koreksi diri sehingga bermanfaat bagi saya dan seluruh pembaca.
Assalamu’alaikum Warahmatullah…
Beriring tahmid dan salam, semoga Antum senantiasa dalam lindungan dan taufik Allah. Amiin….
Kriteria yang diinginkan oleh seseorang dalam memilih calon istri, termasuk di dalamnya menyangkut hal fisik, sebenarnya tidak ada yang salah. Hanya saja ini kembali pada persepsi setiap orang dalam menilai. Tapi sayang, seringkali ia tidak masuk dalam daftar criteria keinginan seorang wanita. Apa itu?
MENERIMA WANITA SEBAGAI PASANGAN HIDUP SEUTUHNYA HANYA KARENA ALLAH. Ini hal penting yang sering dilupakan para ikhwan lajang dalam perjalanan mencari pasangan hidup. Padahal asal kita tahu, ketika kita sebagai seorang ikhwan yang sudah ngaji dan berkomitmen pada syari’at, maka sudah seharusnya kita utuh dalam bertaqwa pada-Nya. Dalam paradigma akhwat pun demikian, ketika mereka mendamba pasangan yang shalih, maka sungguh ketika hati mereka telah dipenuhi dengan cahaya keshalihahan, yang mereka pandang dari ikhwan adalah keshalihan dan keimanan. Materi dan fisik hanyalah soal kesyukuran.
Saya mempelajari hal itu dari isteri saya, dan memang komitmen kita semua dalam mendamba pasangan yang shalih/ah dunia-akhirat, insya Allah. Waktu ta’aruf dulu, saya sengaja menguji para akhwat dari data yang saya ajukan ke seorang teman. Menjadi ujian bagi kita para ikhwan dengan kesuksesan dari sisi duniawi, terkadang pun membuat diri kita menjadi sedikit berani memasang grade (tambahan dari isteri: dan terlena, bahwa kesuksesan itu karena siapa). Sekali lagi saya katakan, hal itu sah-sah saja.
Setelah menikah, baru saya tanya pada akhwat yang sekarang ini menjadi isteri saya (untuk dunia-akhirat, insya Allah, amiin), apa alasan dia menerima saya? Jawabnya ada dalam sebuah catatan di bawah ini:
Ketika Allah Menjadi Alasan Paling Utama
Ustadz, ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan untuk menerima pinanganmu dan berpasrah ketika kau berkehendak menyegerakan pernikahan kita.
Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan dengan siapa aku akan menikah. Aku tidak banyak ragu tentang dirimu, kau jemput aku di tempat yang Allah suka, dan satu hal yang pasti, aku tidak ikut mencampuri ataupun mengatur apa-apa yang menjadi urusan Allah. Sehingga aku dinikahi seorang lelaki shalih, tegar, dan menjadi komitmenku berbakti kepada suami.
Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat segala kekurangan suamiku. Dan sekuat tenaga pula, aku mencoba membahagiakan dia.
Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka menetes air mataku saat melihat segala kebaikan dan kelebihan suamiku, yang rasanya sulit aku tandingi.
Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka akupun berdoa, Yaa Allah, jadikan dia, seorang lelaki surga, ustadz, suami dan ayah anak-anakku, yang dapat menjadi jalan menuju surga-Mu. Amin.
Telah menjadi azzamku, kalau Allah menjadi alasan paling utama untuk menikah, maka seharusnya tidak ada lagi istilah, mencari yang cocok, yang ideal, yang menggetarkan hati, yang menentramkan jiwa, yang…..yang.…yang……dan 1000 “yang”……lainnya….. Karena semua itu baru akan muncul justru setelah melewati jenjang pernikahan. Niatkan semua karena Allah dan harus yakin kepada Sang Maha Penentu segalanya.
Ketika usiaku 20 tahun, aku sudah memiliki niat untuk menikah, meskipun hanya sekedar niat, tanpa keilmuan yang cukup. Karena itu, aku meminta jodoh kepada Allah dengan banyak kriteria. Dan Allah-pun belum mengabulkan niatku.
Ketika usiaku 21 tahun, semua orang-orang yang ada di sekelilingku, terutama orang tuaku, mulai bertanya pada diriku dan bertanya-tanya pada diri mereka sendiri. Maukah aku segera menikah atau mampukah aku menikah? Dalam doaku, aku kurangi permintaanku tentang jodoh kepada Allah. Rupanya masih terlalu banyak. Dan Allah-pun belum mengabulkan niatku.
Ketika usiaku 22 tahun, aku bertekad, bagaimanapun caranya, aku harus menikah. Saat itulah, aku menyadari, terlalu banyak yang aku minta kepada Allah soal jodoh yang aku inginkan. Mulailah aku mengurangi kriteria yang selama ini menghambat niatku untuk segera menikah, dengan bercermin pada diriku sendiri.
Ketika aku minta yang tampan, aku berpikir sudah cantikkah aku?
Ketika aku minta yang cukup harta, aku berpikir sudah cukupkah hartaku?
Ketika aku minta yang baik, aku berpikir sudah cukup baikkah diriku?
Bahkan ketika aku minta yang soleh, bergetar seluruh tubuhku sambil berpikir keras di hadapan cermin, sudah solehahkah aku?
Ketika aku meminta sedikit….. Ya Allah, berikan aku jodoh yang sehat jasmani dan rohani dan mau menerima aku apa adanya, masih belum ada tanda-tanda Allah akan mengabulkan niatku.
Dan ketika aku meminta sedikit...sedikit...sedikit... lebih sedikit..... Ya Allah, siapapun lelaki yang meminangku langsung khan kuterima ajakannya untuk menikah tanpa banyak bertanya, berarti dia jodohku. Dan Allah-pun mulai menujukkan tanda-tanda akan mengabulkan niatku untuk segera menikah. Semua urusan begitu cepat dan mudah aku laksanakan. Alhamdulillah, ketika aku meminta sedikit, Allah memberi jauh lebih banyak. Kini, aku menjadi isteri dari seorang suami yang berilmu, bijaksana, dan menerimaku apa adanya.
Dari jawaban isteri saya ini, maka saya berani menarik benang merah, tidak semua akhwat pun bisa komitmen dengan ilmunya. Memang pada dasarnya dalam dien pun menegaskan untuk mencari pasangan yang sekufu’. Tapi sejauh mana kita memahami makna sekufu’ itu? Apakah kita menilainya dengan kacamata dunia ataukah kacamata akhirat?
Saya jadi teringat sebuah artikel isteri di blog-nya tentang panduan dalam memilih jodoh yang lebih ditujukan pada para ikhwan:
Wanita Seperti Apa yang Kau Cari, Akh…?
Oleh: Ummu ‘Abdillah
Untuk segala sesuatu, Allah telah menciptakan berpasang-pasangan. Tumbuhan, pepohonan, bunga-bunga, Allah ciptakan dengan keserasian dan keseimbangan. Binatang-binatang memiliki pasangan dari jenisnya, dimana mereka bisa saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan bisa mengembangbiakkan keturunan.
Demikian pula manusia, Allah menciptakan manusia dengan bentuk yang sangat indah, dan untuk mereka Allah ciptakan pasangannya. Secara naluriah, manusia akan memiliki ketertarikan kepada lawan jenis. Ada sesuatu yang amat kuat menarik, sehingga laki-laki dengan dorongan naluriah dan fitrahnya mendekati perempuan. Sebaliknya dengan perasaan dan kecenderungan alamiyahnya perempuan merasakan kesenangan tatkala didekati laki-laki.
Allah SWT berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang” (QS. Ali Imran: 14).
Untuk merealisasikan ketertarikan tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar dan manusiawi, Islam datang dengan membawa ajaran pernikahan. Sebuah ajaran suci yang menampik kehidupan membujang di satu sisi, namun juga menampik kebebasan interaksi laki-laki dan perempuan di sisi yang lain. Nikah adalah jalan tengah yang membentang antara dua ekstrem tersebut.
Pernikahan akan bernilai dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Islam dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya. Dalam memilih jodoh, pikirkan kriteria pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan calon jodoh tersebut, dipertimbangkan juga kemaslahatan secara luas. Selain kriteria umum sebagaimana tuntunan fikih Islam, pertimbangan lainnya adalah: apakah pemilihan jodoh ini memiliki implikasi kemaslahatan yang optimal bagi dakwah, ataukah sekedar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya? Walaupun dalam hadits Rasulullah Shalallahu ’Alaihi Wassalam jelas disebutkan bahwa dalam memilih istri hendaknya mengutamakan akhlak dan agamanya, namun kenyataannya sekarang banyak ikhwan yang lebih mendahulukan kecantikan dibanding agama. Apakah memilih wanita cantik dilarang? Tidak. Itu juga sah-sah saja. Namun hendaknya kriteria cantik ini tidak membuat kita lupa akan kriteria akhlak dan agamanya.
Mari saya beri contoh berikut. Diantara sekian banyak wanita muslimah yang telah memasuki usia siap nikah, mereka berbeda-beda jumlah bilangan usianya yang oleh karena itu berbeda pula dengan tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai 35 tahun, sebagian yang lain antara 30 hingga 35 tahun, sebagian usia berusia 25 hingga 30 tahun, dan yang lainnya dibawah 25 tahun. Mereka ini siap menikah, siap menjalankan fungsi dan peran sebagai ibu di rumah tangga.
Anda adalah laki-laki muslim yang telah berniat melaksanakan pernikahan. Usia anda 25 tahun. Anda dihadapkan pada realitas bahwa wanita muslimah yang sesuai kriteria fikih Islam untuk Anda nikahi ada sekian banyak jumlahnya. Maka siapakah yang akan Anda pilih, dan dengan pertimbangan apa Anda memilih?
Ternyata Anda memilih si A, karena ia memenuhi kriteria kebaikan agama, cantik, menarik, pandai dan usia masih muda 20 tahun atau bahkan kurang dari itu. Apakah pilihan Anda ini salah? Demi Allah, pilihan Anda ini tidak salah! Anda telah memilih calon istri dengan benar karena berdasarkan kriteria kebaikan agama, dan memenuhi sunnah kenabian. Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu:
“Mengapa tidak (menikah) dengan seorang gadis yang bisa engkau cumbu dan bisa mencumbuimu?” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan inilah jawaban dakwah seorang Jabir: “Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. Janda ini saya harapkan mampu menyelesaikan persoalan tersebut”, kata Jabir, “Benar katamu”, jawab Rasulullah.
Jabir tidak hanya berpikir untuk kesenangan dirinya sendiri. Ia bisa memilih seorang gadis perawan yang cantik dan muda belia. Namun ia memiliki kepekaan dakwah yang amat tinggi. Kemaslahatan menikahi janda tersebut lebih tinggi dalam pandangan Jabir, dibandingkan dengan apabila menikahi gadis perawan.
Nah, apabila semua laki-laki muslim berpikiran dan menentukan calon istrinya harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia lima tahun lebih muda dari dirinya, maka siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang usianya diatas 25 tahun, atau diatas 30 tahun, atau bahkan diatas 35 tahun?
Cantik, tapi…
Sebagaimana yang sudah kita dengar dan baca, bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Terlebih lagi wanita yang telah Allah ciptakan dalam keadaan bengkok. Secara kodrat, mereka lebih banyak kekurangan dan kelemahan dibandingkan pria, sebagaimana sabda Rasulullah,
“…Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan kurang agama lagi potensial melemahkan laki-laki yang kuat selain salah seorang dari kalian (para wanita)…”(HR. Bukhari dan Muslim).
Hal demikian menuntut para lelaki untuk lebih banyak mengerti wanita, juga lebih bisa memahami kekurangan mereka. Menyangkut kekurangan ini, bukanlah hal yang aneh bila ada wanita yang secara fisik cantik tapi pemboros, atau Abid (ahli ibadah) tapi tak bisa memasak, atau ahli memasak tapi pencemburu berat, dan lainnya. Yang demikian itu adalah biasa. Hampir terjadi dan ada pada setiap wanita.
Bagi anda para bujangan, wanita mana yang akan kau pilih, semua tergantung pada anda. Pada dasarnya ini menyangkut kriteria utama anda yang anda tetapkan dan kekurangan-kekurangan yang masih bisa anda toleransi. Tentunya setiap ikhwan berbeda-beda satu ikhwan mungkin menjadikan kecantikan sebagai standar utama, tak peduli bisa masak atau tidak, sementara ikhwan lain mugkin lebih mengutamakan ibadahnya dan tak peduli kekurangan–kekurangan yang lainnya, dan seterusnya. Yang jelas tak ada wanita di dunia ini yang sempurna seratus persen. Pasti ada saja kekurangannya. Ini hal pertama yang hendaknya dipahami betul.
Kalau Bisa Seperti Nabi…
Kalau kita sedikit menengok sejarah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, bagaimana beliau memperistri wanita atau kriteria wanita atau kriteria yang ditetapkan oleh beliau bagi wanita yang menjadi isterinya, maka akan kita dapati Nabi lebih mengutamakan agama dan akhlaknya dibanding fisiknya. Itupun masih didasari pada manfaaat dan madharatnya bagi perkembangan Islam. Itulah mengapa Rasulullah hanya menikahi satu wanita yang masih perawan, yaitu ’Aisyah. Sedangkan yang lainnya para janda yang pada umumnya sudah tua. Pelajaran yang bisa kita ambil dari pernikahan Rasulullah ini, bahwa agama hendaknya dijadikan patokan utama dalam memilih seorang wanita, agar nantinya rumah tangga bahagia dunia dan akhirat.
Bagi para Akhwat yang belum memiliki suami, semestinya anda terus menggali potensi untuk meningkatkan kualitas diri. Adapun tuntunan dari Rasulullah agar menjadi seorang wanita pilihan:
1. Taat
Seorang gadis yang biasanya taat kepada orang tua, akan mudah taat pada suami ketika menikah nanti.
2. Enak Dipandang
Tidak harus cantik, dengan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya seorang wanita akan membuat senang suaminya.
3. Cinta dan Pasrah
Seorang pria tentu berharap mendapat seorang istri yang mampu mencintai sepenuh hati dan bersikap pasrah. Wanita yang dalam berbuat dan bertingkah laku selalu berupaya menyenangkan suami dam menjauhi hal-hal yang mendatangkan kebenciannya.
4. Suka membantu
Wanita shalihah adalah yang selalu mengajak suaminya pada kebaikan agama dan dunianya. Bukannya memberatkan, namun justru mengingatkan suami untuk selalu berlaku taat pada Allah SWT, serta memberikan saran dan pendapat demi kemajuan sang suami.
Allahu musta’an...
Saya rasa cukup ini dulu sebagai bahan share antara kita. Pada dasarnya wanita itu adalah patner kita, jadi pintar-pintarlah dalam memahami wanita agar tim yang kita bangun nantinya menjadi tim yang solid untuk kemaslahatan umat ke depan. Allahu a’lam...
Wassalamu’alaikum Warahmatullah...
Kota Nabi, 28 Muharram 1431 Hijriyah
Abu Hasan Ridho ’Abdillah Ibnu Maskur Mu’alim
The book on Muslim marriage =: Kitab al-nikah
Wilayat al-ijbar fi al-nikah (Arabic Edition)
The book on Muslim marriage =: Kitab al-nikah
Wilayat al-ijbar fi al-nikah (Arabic Edition)
2 komentar:
Tertarik pada kalimat terakhir... yang kata orang lebih mudah membuat terowongan antara inggris dan prancis daripada memahami wanita.... :D :D :D
wah gimana nih mba asih..:p
Posting Komentar