Nikah : Antara Realita, Konsistensi dan Idealisme

| |

Sebelumnya saya dalam tulisan ini memang murni pemikiran saya yang tentu banyak salah. Dan menuliskan ini saya tak punya tendensi dan maksud apapun, benar-benar hanya ingin mengeluarkan apa-apa yang ada dalam pikiran ini.
Hmm...saya akan memulainya dari sini. Saat saya kuliah (entah semester berapa) ketika mulai merasa nyaman dengan sebuah lingkungan yang sungguh sangat kondusif dalam hal pengetahuan agama.But, jujur saja ada satu hal yang cukup menjadi ganjelan. Yaitu mengenai nikah. Whats wrong with nikah? nothing wrong but..this is (just) my opinion...
Saya merasa ada yang tidak imbang. Saya merasa ada sedikit berlebihan dalam penekanan tentang menikah. SAMA SEKALI INI TIDAK SALAH. Secara umum dan hukum asalnya, menurut saya memang ini yang baik. Tetapi bukankah lantas akan ada implementasi yang berbeda pada situasi yang berbeda? Jika situasinya lantas menyebabkan ia berhenti kuliah dan menyebabkan kekecewaan yang besar di pihak orang tua lantas siapa yang akan berani bertanggung jawab mengganti rugi semua itu?Dan terkadang, penekanan yang berlebihan terhadap nikah itu menyebabkan kesan nikah sebagai "pelarian" yang bisa diperparah jika yang disampaikan itu tidak seimbang antara hal-hal yang indah dengan problematikanya (resiko) yang harus ditanggung, yang pada akhirnya akan membentuk paradigma "aku harus cepat-cepat nikah biar ini..biar itu..biar bla..bla..bla.." dan kita pun lupa dengan tujuan utama menikah, keikhlasan dan niat yang lurus dalam menikah..

Dari sini sebenarnya harus ada solusi lebih lanjut, bagaimana menengahi semuanya (memang, yang benar-benar tengah ga ada kali ya..) tapi bagaimana agar tetap bisa berjalan tegak di jalan yang lurus tanpa mengecewakan orang tua? bagaimana bisa lulus dengan "selamat"? lalu jika sudah lulus apa yang bisa dilakukan dengan ilmu yang telah kita peroleh selama kuliah?semua itu seharusnya memang dipikirkan matang-matang...
Mungkin (atau pasti) ada bargaining, meminimalisir mudharat itulah kuncinya yang paling sulit untuk ditemukan. Memang tak ada yang bisa berjalan sempurna, tak bisa kita benar-benar menengahi antara dunia dan akhirat. Akan tetapi, realita yang saya temui pun banyak yang diluar dugaan. Apa itu? Kenyataannya ketika sudah mengambil keputusan untuk menikah, masih banyak yang belum siap akan resikonya. Mengapa saya katakan demikian? Ya apa namanya, jika lantas ia merasa sangat menyesal (dan selalu memperlihatkan dan mengabarkan penyesalannya) atau bahkan keinginan untuk bisa bekarir timbul begitu kuatnya.Atau bisa juga tidak begitu, tapi ia begitu menekan suaminya dalam hal penghasilan (baik secara langsung maupun tidak langsung ex sering mengeluh, sering menginginkan sesuatu yang di luar batas dll). Bisa dipahami, memang permasalahan ekonomi saat ini cukup pelik, tetapi yang saya pertanyakan adalah di mana konsistensi terhadap penanggungan resiko terhadap keputusannya menikah?
Barangkali inilah yang dinamakan ujian terhadap ilmu yang telah dimiliki.Saya pribadi berharap bisa menjadi seorang yang qanaah terhadap apa-apa pemberian Alloh ta'ala. Amin
Wallahu A'lam