Bahasa yang semakin kacau

| |

Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis soal bahasa, tapi saya bingung ingin memulai dari mana. Saya memang bukan ahli bahasa, dan bukan berarti juga saya selalu berbahasa indonesia sesuai dengan EYD. Sepertinya kalau saya selalu berbicara menurut EYD malah terkesan kaku dan lucu. Namun, siang ini mood ku sedang ingin membahas mengenai hal ini.

Perkembangan media komunikasi elektronik mulai dari telepon, sms, jejaring sosial sampai dengan jaringan bbm turut berpartisipasi dalam pergeseran nilai berbahasa. Saya termasuk orang yang paling sering uring-uringan mengenai ini. Mulai dari saat menjamurnya sms. Seringkali saya mispersepsi dengan si pengirim sms. Di sini saya tidak berbicara mengenai tulisan besar kecil angka huruf gaya khas remaja yang sekarang sedang menjamur lo ya. Di sini saya membahas sms dengan tulisan yang masih dalam kategori wajar. Saya seringkali mispersepsi karena pemenggalan kata dalam intonasi, penggunaan tanda baca dan penempatan besar kecilnya huruf. Perbedaan persepsi kadang positif kadang negatif, kadang juga saya mengartikannya agak berlebihan. Sampai-sampai teman saya pernah bilang, " kamu itu baca sms kayak baca skrip drama". Hehehe..


Itu baru jaman sms. Sekarang, masalah bahasa ini nampaknya semakin kacau. Kita semakin sulit membedakan antara pola bahasa lisan dengan tulisan. Belum lagi soal penggunaan bahasa terkait dengan kepentingan, dan dengan siapa kita berbicara. Saya tidak hendak menitikberatkan pada penghormatan tua muda, itu mungkin terlalu klasik. Tetapi untuk hal formal dan nonformal dan sejauh mana keakraban kita dengan lawan bicara. Lebih-lebih jika ini terjadi dalam pola komunikasi tulisan.

Sebenarnya saya juga bingung akibat maraknya media komunikasi ini, saya jadi merasa semua orang berkomunikasi dengan gaya bahasa lisan. Terutama ini dalam hal komunikasi yang menurut saya semestinya bersifat formal (terkait dengan instansi dan bukan personal),baik itu dalam bentuk chating maupun bentuk lain. Kalau dalam bentuk chat maupun bentuk komunikasi lain yang bisa dikategorikan lebih bersifat keakraban, saya masih berusaha agar hati saya ini tidak berasap (lebay dikit, boleh kan?). Meskipun menurut saya semestinya tetap bisa dibedakan mana situasi formal dan nonformal. Setidaknya, kalau dalam situasi formal, ngikut unggah ungguh dikit lah.. Sekali lagi, hal itu masih berusaha untuk saya maklumi. Namun, jika sudah terkait email yang semestinya bersifat resmi dan formal,haduh.. sudah deh..rasanya saya ingin berceramah panjang lebar soal etika. 

Berbicara soal nilai, etika, norma, barangkali kemajuan jaman telah sukses besar menggeser semuanya. Namun, apakah lantas kita rela kehilangan jati diri yang selama ini kita banggakan? Jati diri ketimuran, tata krama, sopan santun. Memang tidak ada undang-undang yang menyatakan dilarang menulis pakai tinta merah, tidak pula ada larangan menulis pakai huruf besar dengan tanda pentung ataupun tanda tanya yang berjejer. Semua itu tidak ada undang-undangnya. Tapi saya merasa, dalam kaidah berbahasa dalam kesepakatan tidak tertulis, tinta merah itu pertanda emosi, tanda tanya berjejer bisa dipersepsikan amarah besar, dan tanda pentung berjejer dirasakan sebagai suruhan dengan tekanan tinggi.

Entahlah, barangkali memang saya yang terlalu konvensional. Kalau soal tulisan khas abg yang besar kecil huruf angka dengan bahasa yang sulit dimengerti itu, saya sudah tidak sanggup untuk memikirkannya. Meski demikian, saya masih bisa memaklumi jika yang melakukannya anak usia puber, kalau sudah lewat usia abg, no comment aja deh.

(Tulisan ini masih tidak karuan alur dan arahnya, tapi saya ingin menuliskannya dahulu dan publish, barangkali setelah publish ada masukan dan mendapatkan teori-teori yang tepat dari Bapak-bapak/Ibu-ibu serta kawan-kawan sekalian sehingga saya dapat memperbaiki dan membenahi.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar