Siapa Yang Semestinya Menyamakan Frekuensi?

| |

Ini bukan bicara frekuensi di bidang keteknikan. Apalagi wilayah transformasi frekuensi semisal Fourier Transform. Saya hanya ingin melakukan introspeksi tentang sebuah amanah manusia bernama dakwah. Dengan segala keterbatasan yang ada pada diri saya tentunya, saya hanya ingin bertanya pada diri saya sendiri, kenapa sih secara umum masyarakat masih menganggap bahwa dakwah dan komunitasnya itu aneh, eksklusif, sulit dimengerti. Saya bertanya apakah kita benar-benar telah berdakwah? Ataukah memang kita hanya merasa sudah berdakwah padahal kita belum berbuat apa-apa?
Seingat saya, ada sebuah hadist yang intinya ia berisi anjuran agar dalam berdakwah, kita harus menyampaikannya sesuai dengan keadaan pendengarnya. Kalau boleh saya menyebutnya, menyamakan frekuensi, karna sebuah pesawat penerima radio hanya bisa menangkap dengan jelas jika frekuensinya disetel sama dengan frekuensi pemancar. Saya kira, itulah inti dari sebuah komunikasi yaitu bagaimana agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara utuh di pihak penerima.
Kembali ke masalah dakwah. Terkadang saya merasa ada tembok besar, jurang yang lebar yang seolah-olah membatasi ruang dakwah. Apa pasal? Di pihak yang seharusnya menyampaikan dakwah, seringkali ada rasa ketidaknyambungan dengan pihak-pihak yang juga mempunyai hak untuk tersentuh dakwah. Sehingga, dari pihak sebaliknya pun merasa mereka tidak pantas bergabung, ataupun kurang nyaman karena merasa tidak nyambung, bahasanya terlalu "tinggi" dan lain lain dan lain lain.
Sedikit berpikir tentang hal tersebut, sepertinya kebanyakan para pelaku dakwah memang kurang memperhatikan masalah komunikasi, yaitu bagaimana menyampaikan sesuatu sesuai dengan keadaan objek dakwahnya. Sebaliknya, barangkali para pelaku dakwah menuntut agar objek dakwah lah yang menyesuaikan keadaan, mau tidak mau mereka haruslah mengerti apa yang disampaikan meskipun itu bukan "bahasa" yang "dekat" dengan masyarakat/ objek dakwahnya.
Saya pun teringat pertanyaan seorang teman, dia bertanya mengapa masyarakat secara umum masih menganggap salafi itu keras dan eksklusif? Saya pun ketika itu menganalogikan dengan buku. Saya tanya, apakah ia suka baca buku dan buku seperti apa yang ia baca? Lalu secara umum orang suka membaca buku yang seperti apa? Yup, tentu secara umum kita lebih menyukai buku yang bahasanya ringan dan mudah dimengerti.
Begitu juga dalam berdakwah, semestinya kita menggunakan perkataan yang mudah dicerna oleh objek dakwah. Misalnya, berbicara di komunitas si mbah si mbah yang tidak pernah menempuh pendidikan bahasa arab maupun kuliah di fakultas agama, masa ya kita mau bicara dengan segudang dalil runtut dengan segudang istilah bahasa-bahasa arab pula. Apakah tidak sebaiknya dalil itu kita sampaikan dengan bahasa yang lebih ringan, bahasa yang dekat dengan mereka, misal kalau di jawa biasanya mereka pake bahasa jawa, ya pakailah bahasa jawa. Karena dakwah pada masyarakat jika hanya ingin dipandang fasih dalam istilah dan bahasa, bisa-bisa malah celaka karena inti/isi ajakan malah tidak bisa dicerna sama sekali.
Masalah bahasa nampaknya sepele bukan. Ya, mungkin saking sepelenya, tak jarang orang melupakannya. Pun ketika pergaulan di kampus di mana seorang yang mungkin karena terbiasa di komunitasnya, ia membawa bahasa komunitas saat bergaul dengan teman-teman kampus yang bisa jadi belum pernah tersentuh dakwah sama sekali. Terlebih dari itu , pada sebagian ikhwan maupun akhwat saya pun melihat sebuah "penyakit", yaitu terkesan menarik diri secara tidak wajar sehingga cap eksklusif dan pemutusan silaturahmu pun secara tidak langsung akan diberikan oleh masyarakat kampus pada umumnya.
Wallahu a'lam. Semoga kita semua bisa lebih bijaksana dalam berdakwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar